Apa yang disampaikan Fahri Hamzah tentang Enzo Alie benar..!

HamzahDesain
BERI KESEMPATAN ENZO ALLIE 

Dalam perjalanan kembali, meninggalkan Tanah Suci, di Jeddah saya terus terpikir tentang Enzo Zenz Allie yang saya tidak kenal. Tetapi karena saya pernah menjadi Panja UU Imigrasi yang senapas dengan UU Kewarganegaraan, saya ingin sedikit memberi catatan.

Saya tidak kenal Enzo Zenz Allie tapi saya kenal Clovis. Mereka sama-sama berdarah campuran Indonesia (Ibu) dan Perancis (Bapak). Saya mengenal baik Ibu dan Bapak Clovis, Pak Rene dan Ibu Julie yang saya kenal saat saya sebagai ketua Panja UU Imigrasi UU No.6/2011.

Saat itu, saya mengenal dan belajar banyak dari warga negara INDONESIA yang menikah dengan warga negara asing. Lalu, lahirlah anak-anak mereka yang memiliki keunikan secara fisik. UU kewarganegaraan dan UU Imigrasi melalui Panja DPR mengadakan dengar pendapat dengan mereka.

Lalu, UU memberikan pilihan kepada mereka setelah umur 18 tahun mau memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, karena kita tidak menganut kewarganegaraan ganda (dual citizenship). Enzo Zenz Allie dan Clovis telah memilih menjadi WNI. Sesuatu yang hebat.

Mengapa ini hebat? Karena menjadi warga negara Perancis adalah warga negara yang penuh kemudahan dan jaminan. Satu yang pasti, passport anda akan menjadi passport yang mendapat kemudahan visa ke seluruh dunia. Juga mendapat “baik sangka” sebagai warga dunia kelas satu.

Taqdir mengantarkan mereka menjadi anak dari pernikahan campuran warga negara. Bahkan juga berbeda agama, Clovis beragama Katolik dan Enzo Zenz Allie nampaknya beragama Islam. Enzo berpendidikan dasar di Perancis dan Clovis berpendidikan lanjutan di sana. Keduanya WNA.

Pak Rene dan Ibu Julie, orang tua Clovis dan sahabat saya punya pabrik di Jogja.  Nampaknya mereka mempersiapkan anaknya menjadi penerus usaha keluarga. Sementara ayah Enzo Zenz Allie, Jean Paul Francois Allie telah wafat dan Ibunya Siti Hajar dari Sumut menitipnya di Pesantren.

Jadilah Enzo Zenz Allie anak pesantren alias santri yang belajar agama Islam. Dan suatu hari, mungkin ia pergi dengan para sahabatnya membawa bendera bertulis kalimat Tauhid, padahal ia bercita-cita menjadi tentara INDONESIA dan belajar di Akademi Militer, itu mimpinya sejak kecil.

Di terimalah dia sebagai taruna Akmil dengan nilai yang baik. Tetapi malang nasibnya, sebuah gambar kehidupannya di pesantren dengan bendera bertulis kalimat syahadat membuatnya dituduh radikal dan “terpapar HTI”, bahkan ada yang menuduh TNI telah kemasukan teroris.

Mungkin saja kita punya persoalan menerima orang dengan nama dan wajah yang unik, tapi mengapa permainan bendera ini menyeret kita kepada irasionalitas yang terlalu jauh? Apa yang mau kita dapat dari menuduh bendera yang pada masa perang kemerdekaan juga berkibar?

Indonesia dengan demokrasi yang kita terapkan dan UU yang kita buat, dirancang untuk memiliki pikiran terbuka. Menyempitnya cara kita berpikir terutama tentang agama akan membuat negara kita menyingkir dari kemajuan dunia. Jangankan menerima tamu, warga sendiri kita curigai.

Kita jangan mau diadu domba dan anak-anak bangsa seperti Enzo Zenz Allie dan Clovis adalah masa depan. Dunia sedang dilengkapi oleh fasilitas komunikasi dan transportasi yang memungkinkan interaksi global terjadi secara massif. Pikiran kita harus terbuka. Harus waras dan rasional.

Saya berterima kasih kepada para petinggi TNI, Puspen TNI yang telah bersikap benar. Bahwa Enzo Zenz Allie adalah WNI dengan seluruh haknya untuk menjadi mahasiswa Akademi Militer. Dan karena kemampuannya termasuk bahasa asing, setelah dites dia lulus. Cukup!

Pandangan pribadi dan pilihan politik orang bukan dosa di negeri ini. Itu masa lalu, ada banyak yang bangga dengan ideologi komunis, toh jadi pejabat publik. Kenapa pula santri bule ini jadi masalah? Inilah penyakit kambuh kita, mentalitas yang tidak bagus diteruskan.

Mari kita beri kesempatan kepada Enzo Zenz Allie dan generasi baru negeri ini yang lebih terbuka pikirannya akibat demokrasi kita. Jangan rusak mereka dengan konflik ideologi dan politik aliran yang selalu main belakang dalam politik formal.

Kita harus berani mewariskan zaman baru, sebuah masa yang penuh dialog, keterbukaan dan persaudaraan. Sebuah persatuan yang dibangun di atas percakapan yang sehat dan kesetaraan. Ayo kita mulai. Stop jualan rasa takut dan ancaman. Buka hati dan pikiran. Jeddah, 14/8/19.

Twitter @Fahrihamzah 14/8/2019